Makalah Individu:
Dosen Pengampu :
Komputer AUD Febrialismanto S.Pd. M.Pd
TEORI PERKEMBANGAN MENURUT
ERIK ERICSON
DISUSUN
OLEH :
NAMA :
RIZKA SYAHFITRI
NIM : 1005120753
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU PAUD
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
RIAU
PEKANBARU
2012
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur senantiasa saya ucapkan kehadirat Allah swt yang maha kuasa karena atas
berkat rahmat dan karunia yang telah diberikanNya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini saya susun secara sederhana.
Dalam
kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan pengetahuan dan informasi yang
bermanfaat untuk pembuatan makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat memberikan dampak yang positif dan bermakna dalam proses
belajar mengajar dalam perkuliahan. Dari lubuk hati yang paling dalam sangat
saya sadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kepada
setiap pembaca diharapkan saran dan kritik atas kekurangan makalah ini.
Pekanbaru, November 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................. ii
Latar Belakang.................................................................................................... 4
Kajian Teori......................................................................................................... 5
Kesimpulan……................................................................................................. 24
Daftar
Pustaka………………………………………………………………… iii
LATAR
BELAKANG
Pendidikan Anak Usia
Dini, kata-kata ini tidak asing lagi di dengar, pendidikan anak usia dini
dikenal dengan singkatan PAUD. Menurut direktorat PAUD Depdiknas menyatakan
bahwa Paud adalah suatu proses pembinaan tumbuh kembang anak usia lahir hingga
enam tahun secara menyeluruh, yang mencakup aspek fisik, dan non fisik dengan
memberikan rangsangan bagi perkembangan jasmani, rohani (moral dan spiritual),
motorik, akal-fikir, emosional, dan sosial yang tepat dan benar agar anak dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal. Membahas tentang anak usia dini tidak
lepas dari masalah pertumbuhan dan perkembangan pada anak, karena pada masa ini
disebut juga Golden Age yang
merupakan masa keemasan pada anak, karena pada asa ini perkembangan pada anak
sangat pesat dan akan berpengaruh pada masa selanjutnya.
Dalam sejarah
perkembangan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD Early Childhood Education – ECE ) terdapat beberapa nama sebagai
filsuf dalam pendidikan anak. Pemikiran dan gagasan-gagasan mereka sampai saat
ini masih digunakan sebagai acuan untuk mengembangkan penyelenggaraan PAUD,
termasuk penyelenggaraan PAUD di Indonesia. Salah satunya Erik Ericson yang
mengemukakan teori perkembangannya yang akan dibahas dalam makalah ini.
KAJIAN TEORITIS
1. BIOGRAFI ERIK ERICSON
Erik
Homburger Erikson dilahirkan di Frankurt, Jerman pada tanggal 15 juni 1902.
Sangat sedikit yang bisa diketahui tentang asal usulnya. Ayahnya adalah seorang
laki-laki berkebangsaan Denmark yang tidak dikenal namanya dan tidak mau
mengaku Erikson sebagai anaknya sewaktu masih dalam kandungan dan langsung
meninggalkan ibunya. Ibunya bernama Karla Abrahamsen yang berkebangsaan Yahudi.
Saat Erikson berusia tiga tahun ibunya menikah lagi dengan seorang dokter
bernama Theodore Homburger, kemudian mereka pindah kedaerah Karlsruhe di Jerman
Selatan. Nama Erik Erikson dipakai pada tahun 1939 sebagai ganti Erik
Homburger. Erikson menyebut dirinya sebagai ayah bagi dirinya sendiri, nama
Homburger direduksi sebagai nama tengah bukan nama akhir.
Sebelum
melihat lebih jauh mengenai teori dari Erik Erikson, maka kita tidak bisa
melewati sketsa biografi Erik Erikson yang juga berperan/mendukung terbentuknya
teori psikoanalisis. Pencarian identitas tampaknya merupakan fokus perhatian
terbesar Erikson dalam kehidupan dan teorinya.
Pertama kalinya Erikson belajar sebagai “child
analyst” melalui sebuah tawaran/ajakan dari Anna Freud (putri dari Sigmund
Freud) di Vienna Psycholoanalytic Institute selama kurun waktu kurang lebih
tahun 1927-1933. Bisa dikatakan Erikson menjadi seorang psikoanalisis karena
Anna Freud. Kemudian pada tanggal 1 April 1930 Erikson menikah dengan Joan
Serson, seorang sosiologi Amerika yang sedang penelitian di Eropa. Pada tahun
1933 Erikson pindah ke Denmark dan di sana ia mendirikan pusat pelatihan
psikoanalisa (psychoanalytic training center). Pada tahun1939 Erikson pindah ke
Amerika Serikat dan menjadi warga Negara tersebut, selain itu secara resmi pun
dia telah mengganti namanya menjadi Erik Erikson. Tidak ada yang tahu apa
alasannya memilih nama tersebut.
Erik
Erikson wafat 12 Mei 1994 di Harwich, Cape Cod, Massachussetts, Amerika
Serikat.
1. TEORI
PERKEMBANGAN MENURUT ERIK ERICSON
Teori
perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah satu
teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund
Freud, Erikson mendapat posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia
menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia;
satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak
berbicara dalam wilayah ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang membawa
aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif
karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat
representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang
merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua,
menekankan pada pentingnya perubahan yang terjadi pada setiap tahap
perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir adalah
menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian
klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan
dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan. Melalui teorinya
Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai perilaku
manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami
persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern
seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk
menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan,
baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan
kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson
berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar
psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson
adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih
tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah
seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat
besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar.
Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud,
dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika
dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud. Bagi Erikson, dinamika
kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar
biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan
jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai
dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa
tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi
matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan
dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan
genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga
dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan
sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap
tahapnya.
Pusat
dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai
perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan
secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam
setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah
dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu
bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson
dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu :
a.
Pada dasarnya setiap perkembangan dalam
kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan
sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong,
mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
b.
Masyarakat, pada prinsipnya, juga
merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru
memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk
mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang
ada.
Dalam
bukunya yang berjudul “Childhood and
Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan
tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa
dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil
bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari dua suku
kata yaitu epi yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung,
dan genetic yang berarti “emergence” atau kemunculan. Gambaran dari
perkembangan cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat
berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul
, dan akan selalu terjadi pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada
tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari
setiap tahap itu sendiri. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa
tiap tahap psikososial juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap
komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah
yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital
dan bagian yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan
antar personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah
sikap yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada
setiap tahap.
Erikson
percaya “epigenetic principle” akan
mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas dapat melihat krisis
psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap manusia yang sudah
dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar Di
mana gambar tersebut memaparkan tentang delapan tahap perkembangan yang pada
umumnya dilalui dan dijalani oleh setiap manusia secara hirarkri seperti anak
tangga. Di dalam kotak yang bergaris diagonal menampilkan suatu gambaran
mengenai adanya hal-hal yang bermuatan positif dan negatif untuk setiap tahap
secara berturut-turut. Periode untuk tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan
mengenai kondisi yang relatif berkaitan dengan kesehatan psikososial dan cocok
dengan sakit yang terjadi dalam kesehatan manusia itu sendiri.
Seperti
telah dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat dari teori tahap-tahap
perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada
dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut dengan
menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori yang
dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial
Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar
teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori
perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara
mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu
diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud
dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa.
Meminjam
kata-kata Erikson melalui seorang penulis buku bahwa “apa saja yang tumbuh
memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah
bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai
semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi. Oleh
karena itu, melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson ingin
mengemukakan bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif
(adaptasi keliru) dan malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung
kalau satu tahap tidak berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan
baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif dan juga malignansi,
selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu berinteraksi dengan pola-pola
tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi serta ritualisme
yang berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan. Menurut Erikson delapan
tahap perkembangan yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun
secara hirarkri, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang mengalami
ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnya dapat
berlangsung kembali guna memperbaikinya.
Delapan
tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap
tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat
sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan
dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut
Erikson adalah sebagai berikut :
Kedelapan tahapan perkembangan
kepribadian dapat digambarkan dalam tabel berikut ini
Developmental Stage
|
Basic Components
|
Infancy (0-1 thn)
Early childhood (1-3 thn)
Preschool age (4-5 thn)
School age (6-11 thn)
Adolescence (12-10 thn)
Young adulthood ( 21-40 thn)
Adulthood (41-65 thn)
Senescence (+65 thn)
|
Trust vs Mistrust
Autonomy vs Shame, Doubt
Initiative vs Guilt
Industry vs Inferiority
Identity vs Identity Confusion
Intimacy vs Isolation
Generativity vs Stagnation
Ego Integrity vs Despair
|
A. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Masa
bayi (infancy) ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi
didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di
sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap
asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi
menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak
percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat
asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi situasi-situasi
tersebut seringkali bayi menangis.
Tahap ini berlangsung pada masa oral,
kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada
tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan
kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina
dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur
dengan tenang, menyantap makanan dengan -nyaman dan tepat waktu, serta dapat
membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini
ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan
kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa
hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu
akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial
sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada
didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh
seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa
aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa
tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil
dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya
serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap
lingkungannya.
Sebaliknya, jika seorang ibu tidak
dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa
hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari
kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan
lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang
lain.
Hal ini jangan dipahami bahwa peran
sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena
orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya
kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah
penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai
pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan
memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan
kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk
dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang
dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah
kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai
dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi.
Pada
dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan
namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan
ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan
seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana
setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan
harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang
menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap saat.
Adanya
perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan
ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan.
Nilai lebih yang akan berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan
keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan
sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik.
Pada
aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau
saling berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu,
pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin
dengan ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan
tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan
tersendiri. Selain itu, Alwisol berpendapat bahwa numinous ini pada akhirnya
akan menjadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain,
dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut.
Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang
dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi
suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara
interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan).
Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya
sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang
lain.
B.
Otonomi
vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Masa
kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan autonomy –
shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri
sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri
tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki
rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan
atau persetujuan dari orang tuanya.
Pada
tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya
disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4
tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi)
sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin
suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang
baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang
tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan
mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam
mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu
misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan
dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri
atau ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar
untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha
atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang
berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya
sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang
lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain,
memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain
pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu.
Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan
kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak
mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.
Orang
tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak
dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang
diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun
nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”.
Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak
akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu
dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan
tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke
arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness
(terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki
perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada
sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness. Sifat
inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu
bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus
dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka
tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu
dan ragu-ragu.
Jikalau
dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat
diatasi atau jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif
yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam
kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak
secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi
yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme.
Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat
menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku
orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola
pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni
merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak
yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada
penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa
ampun, dan tanpa rasa belas kasih.
- Inisiatif vs Kesalahan
Masa pra sekolah (Preschool Age)
ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak telah
memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia terdorong
melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak tersebut masih
terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebut
menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu dia tidak
mau berinisatif atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai
tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap
bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3
sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini
ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan
kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar
dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari
kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap
inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi
nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara
mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya
akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan
karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya
yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah
atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang
mereka rasakan dan lakukan.
Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang
keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan
namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai
mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai
sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan
jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan
disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada
pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa
bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition).
Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk
mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan
merasa terhindar dari suatu kesalahan.
Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir
suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang
terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam
pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak
dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani.
Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan
oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu,
rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa
keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan
pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan
sebelumnya.
D. Kerajinan vs Inferioritas
Masa Sekolah (School Age) ditandai adanya
kecenderungan industry–inferiority. Sebagai kelanjutan dari perkembangan tahap
sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di
lingkungannya. Dorongan untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya
sangat besar, tetapi di pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan
dan pengetahuannya kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan
kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa
rendah diri.
Tahap keempat
ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar
antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan
mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah
diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari
lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki
peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian,
teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada
awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia
bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam
belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya
berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan
tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak
dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas),
sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu,
peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang
menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang
dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih
banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya
tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol
mereka. Kecenderungan maladaptif akan
tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana
peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain
jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi
yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred
Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian
tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan
mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap
sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan
begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap
pribadi yakni kompetensi.
Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap
sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan
mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada
aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal
dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu
mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai
dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak
akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku.
Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat.
Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism.
E.
Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan tahap adolesen
(remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20
tahun. Masa Remaja (adolescence) ditandai adanya kecenderungan identity –
Identity Confusion. Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh
kemampuan dan kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk
dan memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan
membentuk dan memperlihatkan identitasdiri ini, pada para remaja sering sekali
sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh
lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan
identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan
dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya
mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap
peran yang diberikan kepada masing-masing anggota
Pencapaian identitas pribadi dan menghindari
peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini.
Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena
melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam
pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana
cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin
luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat
yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada
tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap
identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara
aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu
sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain,
selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah
menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka
sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi
nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang
lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap
pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu,
salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya
berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak
tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah
pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion
atau kekacauan identitas.
Akan tetapi di sisi lain jika
kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas,
maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang
bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan
sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap
bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika
kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson
menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat
ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya
mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari
kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima
dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya.
Kesetiaan akan diperoleh sebagi nilai
positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan
kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan
memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan standar yang
berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan
ketidakkonsistennya.
Ritualisasi yang nampak dalam tahap
adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
F.
Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima
sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada
masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Masa Dewasa Awal (Young
adulthood) ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau pada masa
sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, namun
pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif,
dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham.
Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan
orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.
Jenjang ini menurut Erikson adalah
ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap
menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang
lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan
mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman
dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang
terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh
yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk
menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam
periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas,
sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung
pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga,
bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi
lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan
orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan
masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk
dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara
keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai
yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk
mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling
membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup
hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga,
sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahan
ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang
baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan
sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang
kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
- Generativitas vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada
pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30
sampai 60 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai adanya kecenderungan
generativity-stagnation. Sesuai dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini
individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya.
Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangan
individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas,
tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan,
sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas. Untuk
mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.
Apabila pada tahap pertama sampai
dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini
dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna
keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak
berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan.
Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui
generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman
ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri
sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak
perduli terhadap siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan
sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri
sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang
tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari
semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat
sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa
ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna
mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi
dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu
interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang
yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu
apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan
pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada untuk
dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa dan
penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
- Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson
disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60
atau 65 ke atas. Masa hari tua (Senescence) ditandai adanya kecenderungan ego
integrity – despair. Pada masa ini individu telah memiliki kesatuan atau
intregitas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik
pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang
mendekati akhir. Mungkin ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang
akan dicapainya tetapi karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan
untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan
untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia
seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali
menghantuinya
Dalam teori Erikson, orang yang
sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap
sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan
berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang
sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah
merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja
dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan
tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling
tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri
yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup
itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka
tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan
terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan
kecemasan dapat menyebabkan maladaptif yang biasa disebut Erikson
berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan
di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan
dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap
menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan menyesali
kehidupan sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan
kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu
sikap kebijaksanaan.
KESIMPULAN
Erik
Erikson mengemukakan 8 tahap perkembangan kepribadian yaitu :
Tahap 1 - Kepercayaan Lawan
ketidakpercayaan (0 -18 bln)
a.
Mempengaruhi perkembangan bayi melalui pengalaman.
b.
Belajar untuk mempercayai atau tidak mempercayai orang
lain.
c.
Mempengaruhi sikapnya terhadap hidup dan interaksinya
dengan orang lain.
d.
Kepercayaan akan memudahkan individu menghadapi serta mengatasi
masalah dalam hidup.
e.
Bayi mula membentuk perasaan percaya lawan tidak
percaya. Perasaan percaya pada persekitaran dan orang lain akan wujud sekiranya
bayi tersebut mendapat penjagaan yang baik dari penjaganya; terutama daripada
ibu. Sebaliknya; jika bayi tersebut tidak mendapat penjagaan yang sempurna maka
akan timbul perasaaan tidak percaya pada tahap ini. Cara penjagaan bayi akan
mempengaruhi emosi dan perasaan percaya dalam diri bayi yang mengalami tahap
ini (yang berusia 0-18 bulan).
Tahap 2 - Autonomi lawan malu/kekeliruan (18 bln – 3 thn )
a.
Konsep diri mula bertambah nyata
b.
Mula tahu apa yang dicakap dan dibuat merupakan tindakannya
bukan orang lain
c.
Keinginan untuk bertindak bebas (autonomi) meningkat
d.
Lebih gemar membuat sesuatu tanpa bergantung kepada
orang lain
e.
Mungkin berpendapat cekap dan berkebolehan
f.
Rasa diri kurang cekap – malu dan mula meragui
kebolehan diri
g.
Tingkah laku yang sentiasa diterima dan dipuji – lebih
yakin
h.
Sentiasa didenda/dimarah – malu dan ragu-ragu
i.
Cara terbaik, tingkah laku yang tidak diingini dikawal
dan yang diingini dipuji – dapat mengenal jenis-jenis t/laku yang digalakkan dan
yang hendak dielakkan
j.
Kecenderungan untuk berfungsi secara bebas hendaklah
diterima atau didorong
k.
Pada tahap ini kanak-kanak sudah mula berkeinginan
melakukan sesuatu perbuatan sendiri. Mereka mula berdikari dan tidak suka
dibantu atau dikongkong orang dewasa. Situasi ini merupakan permulaan kepada
pembentukan perasaan keyakinan diri pada kanak-kanak tersebut. Dorongan dan
galakan ibu bapa akan membantu kanak-kanak membina perkembangan dan
menyelesaikan sesuatu tugasan.
Tahap 3 -
Inisiatif lawan Bersalah (3-6 thn)
a.
Ingin meneroka dan mencuba sesuatu yang baru dan
mencabar – inisiatif
b.
Dapat belajar dan bergerak dengan cepat
c.
Lebih peka kepada perkara betul dan salah
d.
Berasa malu apabila diketawakan dan seterusnya membina
sikap positif
e.
Galakan akan menyedarkan kanak-kanak tentang potensi
diri
f.
Sering dikawal dari mencuba – akan berasa kurang
inisiatif
g.
Pada tahap ini kanak-kanak mula berinteraksi dengan
persekitaran. Banyak inisiatif dilaksanakan bagi memenuhi naluri ingin tahu
yang tinggi. Mereka akan cuba melakukan kerja-kerja yang dibuat oleh orang
dewasa. Perkembangan ketika ini tidak boleh disalah asuh kerana akan
menyebabkan kanak-kanak hilang inisiatif, suka menyendiri dan akan menimbulkan
masalah apabila memasuki alam persekolahan.
Tahap 4. ketekunan lawan rasa rendah diri 6-12 tahun
Kanak-kanak mesti menghadapi pembelajaran kemahiran baru atau sebaliknya menghadapi risiko perasaan rendah diri, kegagalan dan tidak cekap.
Tahap 5.
identiti lawan kekeliruan identiti 12-18 tahun
Remaja mesti
berjaya mencari identiti dalam pekerjaan, peranan jantina, politik dan agama,
jika tidak perasaan rendah diri akan timbul.
Tahap 6.
kerapatan lawan pengasingan 18-35 tahun
Dewasa akan membina hubungan rapat atau sebaliknya merasa terasing jika tidak mahir membina hubungan.
Tahap 7.
generativiti lawan pemusatan kendiri (stagnasi) 35-60 tahun
Setiap dewasa
mencari jalan untuk memuaskan hati dan menyokong generasi akan datang atau
sebaliknya hanya memusatkan kepada perkembangan /aktiviti diri.
Tahap 8.
kesepaduan lawan putus asa 60 tahun – akhir hayat
Kemuncak perkembangan di mana perasaan diterima dengan perasaan kepuasan atau merasa tidak diterima dan putus asa dengan kehidupannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Anita Yus. 2011. Model Pendidikan Anak Usia Dini.
Jakarta : Kencana.
Wilson. 2009. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Pekanbaru : Departemen
Pendidikan Nasional.
http://www.haveford.edu/psych/ddavis/p1099/erikson.stage